Aku masih dapat merasakan kehadiranmu di sampingku sejak peristiwa itu, Ndy. Walaupun ku tahu kau sudah tak ada lagi di dunia ini, namun aku masih percaya, aku yakin, bahwa kau takkan pernah meninggalkanku. Sebab, kau sudah berjanji padaku akan selalu menemaniku.
* * * * *
“Yuli!!! Kamu di mana?” sebuah suara yang selalu kurindukan, selalu kusayangi terdengar jelas ditelingaku.
“Hayoo! Nyari aku, ya?” tanyaku jahil.
“Kamu habis dari mana, Non?” balasnya sambil tersenyum. Senyum yang mampu mengikat hatiku saat pertama kali aku bertemu dengannya.
“Aku tadi di balik pohon beringin itu, kok.” kataku “Kita pergi sekarang, Ndy?”
“Kamu maunya perginya kapan, say?”
“Kalo gitu, sekarang aja, ya.” Aku dan Fandy lalu pergi ke toko buku, Gramedia. Fandy itu pacarku. Umurnya 3 tahun lebih tua dariku. Dia kuliah di UGM semester 1 jurusan Sastra Jepang. Alasannya karena dia dari kecil bercita-cita jadi seorang duta besar. Waktu pertama kali dengar cita-citanya aku ketawa. Habis kirain dia bercanda. Tapi ternyata memang itulah impiannya. Mulanya dia adalah sahabat kakakku, Doni. Dia sering main ke rumah hingga suatu hari dia bilang ke aku kalo dia suka ma aku. Aku sendiri sudah suka ma dia pada pandangan pertama. Love At The First Sight ceritanya. Karena dia kuliah di UGM jurusan Sastra Jepang, setiap hari Sabtu dan Minggu Fandy selalu ke rumah dan mengajakku kencan. Bagiku dia adalah cowok yang paling baik dan keren. Tubuhnya yang tinggi dan terbentuk karena dia atlet basket. Selain itu, dia care abis ma aku. Pinter??? Nggak juga. Yang jelas dia orangnya pantang menyerah. Itu yang kusuka darinya.
* * * * *
“Fandy, sekarang kamu lagi apa? Sudah dua minggu kamu nggak ngasih kabar ke aku.” Aku menggumam dalam lamunanku. “Fandy…aku kesepian, nih. Kamu dimana? Kok kamu nggak nemuin aku? Padahal kamu janji kalau aku kesepian kamu akan langsung menemaniku.” Semakin lama akhirnya aku terbawa ke dalam duniaku sendiri.
* * * * *
“Yuli!!! Ada telpon dari Fandy, nih.” Kata Mas Doni seraya menyerahkan gagang telpon kepadaku.
“Thanks, ya Mas.” Balasku. “Ya, hallo.”
“Yuli? Ini Fandy, Yul.”
“Ada apa, Fan? Tumben kamu telpon aku. Biasanya kamu nyari Mas Doni dulu baru aku.”
“Besok Sabtu kamu ada acara, nggak Yul?”
“Sabtu? Kayaknya nggak ada. Emang kenapa?”
“Kamu mau pergi sama aku nggak?”
“Wesh, ajakan kencan, nih?” Kataku jahil. Aku sebenarnya Cuma lagi pengin jahil aja. Aku juga nggak berharap itu emang ajakan kencan. Tapi kalo emang itu ajakan kencan, wah… aku happy abis, dong.
“Mmm… iya. Kamu mau kan?” Jeder!! Jantungku seakan meledak. Sampai-sampai aku nggak bisa bicara saking senengnya.
“Ok, deh. Jam berapa?”
“Kamu maunya jam berapa?”
“Gimana, kalo jam 7.”
“Ok, deh. Ntar aku jemput jam 7.”
* * * * *
Di sebuah restoran yang romantis abis, di hari Sabtu. Aku cuma berdua saja sama Fandy dan ada something yang nggak pernah terlintas dalam benakku walaupun cuma sekali.
“Kamu mo ngomong apa ma aku, Ndy.”
“Yul, aku... aku udah lama suka ma kamu. Kamu, mau jadi pacarku, nggak?” jantungku berdegup kencang banget. Aku kageet banget waktu dengar pernyataan cinta dari Fandy. Jujur aja, benernya aku seneng banget. Tapi, aku nggak tau harus gimana.
“Ndy, kamu bercanda, kan?”
“Yul, kali ini aku serius. Aku suka ma kamu, yul.”
“Kamu nggak marah, kan kalo aku bilang, NGGAK...”
“Yah, kalo emang kamu nggak mau ya, udah. Aku nggak...” Belum selesai Fandy bicara aku langsung memotong ucapannya.
“Nggak nolak!!” teriakku
“Yul, kamu serius?” Aku hanya membalas dengan anggukan. Abisnya aku malu abis. “Aduh Yul, kamu tu jahil banget. Thanks ya, Yul. Aku sayang banget ma kamu.” Seraya mengusap kepalaku dengan lembut.
* * * * *
“Yul, kamu lagi apa, adek?” Tanya Mas Doni yang tiba-tiba masuk ke kamarku, dan menyadarkanku dari lamunan panjangku.
“Nggak ada apa-apa, kok.”
“Kamu masih mikirin Fandy, ya?” Aku tetap diam. Aku nggak tahu harus bilang apa. Soalnya aku nggak ingin dengar nasehat dan kata-kata yang sama dari setiap orang yang menanyaiku tentang Fandy. “Yul, kamu harus bisa segera pulih dari keadaan ini. Toh, sudah seminggu lebih kejadian itu berlalu. Kembalilah menjadi Yuli yang dulu. Yuli yang periang.”
“Mas, Fandy masih ada. Dia janji mau nemenin aku. Lagi pula aku belum berubah, kok.”
“Sudahlah, Yul. Kamu jangan selalu menghindar dari kenyataan ini.” Ya, aku memang berusaha menghindar dari kenyataan bahwa sesungguhnya Fandy sudah tak ada lagi. Tapi aku juga tau kalau Fandy nggak bakal di sampingku lagi.
“Seandainya nggak ada kejadian itu, ya Mas. Itu salahku.”
* * * * *
“Ndy, kamu jadi jemput aku?”
“Iya, dong say. Mana aku tega sih membiarkan dara manisku pulang sendirian.”
“Klo gitu ntar kamu jemput aku jam 7 pas di tempat aku kursus bahasa Inggris, ya?
“Iya. Ntar aku ke sana pas jam 7. Mungkin juga kurang. Soalnya aku ga mau membuat ratu hatiku menunggu sang pangeran.” Yang disusul oleh tawanya.
“Well, aku tunggu, lho!!” kataku seraya menutup gagang telepon.
* * * * *
Selama hampir 1 jam lamanya aku menunggu Fandy di depan tempat kursusku. Hatiku terasa tidak nyaman. Sebab, Fandy sebelumnya tidak pernah terlambat seperti ini. Lagipula tadi dia sudah berjanji padaku akan datang tepat waktu. Akhirnya kuputusakan untuk mengubungi Hpnya. Saat aku akan menghubungi Fandy, di depanku melintas ambulance dengan kecepatan tinggi. Untuk sesaat aku merasa takut. Aku takut kalau itu Fandy. Segera saja aku tepiskan pikiran itu. Aku tidak mau berpikir yang bukan-bukan. Berulang kali aku coba menghubungi Hpnya. Tapi sayang tidak aktif. Tiba-tiba Hpku berbunyi. Aku harap itu dari Fandy. Namun setelah kulihat Mas Doni yang telpon, “Halo Mas... Ada apa?”
“Yul, kamu di mana?”
“Masih di tempat les. Fandy belum jemput, nih... Nggak biasanya dia terlambat jemput aku.”
“Kalau gitu, Mas Doni jemput kamu sekarang. Kamu jangan kemana-mana.Bye..” Belum sempat aku menolaknya. Sebab, aku nggak mau nanti saat Fandy datang aku sudah pulang.
Tidak lama kemudian Mas Doni datang menjemputku, “Ayo cepat masuk” wajahnya terlihat pucat.
“Mas Doni sakit? Kok mukanya pucat?” Mas Doni hanya diam dan menggelengkan kepala, “Mas, aku mau nunggu Fandy sebentar lagi. Kasihan dia kalau datang aku nggak ada.” Tapi Mas Doni tidak menggubrisku sama sekali. Dia segera menancapkan gas dan melaju dengan cepat, “Mas, kita mau ke mana? Besok Yuli ada ulangan.”
“Kita ke Rumah Sakit Fatimah, Yul...”
“Siapa yang sakit?” Mas Doni tidak menjawab. Tapi dari raut wajahnya aku tahu kalau dia sedang menahan tangis. Selama perjalanan rasanya tidak tenang. Begitu sampai di rumah sakit Mas Doni segera menggandengku dan berlari menuju UGD. Aku begitu terkejut waktu melihat orang tua Fandy juga ada di sana.
“Yul...tolong kamu masuk menemani Fandy. Dari tadi dia memanggil namamu.” Kata Tante Mita, ibu Fandy. Aku begitu terkejut hingga tidak tahu lagi harus berbuat apa. Fandy? Fandy mausk rumah sakit. Tapi kenapa? Ingin semua pertanyaan itu ku ucapkan. Tapi, mulut ini tsk kuasa berkata apa-apa. Aku seprti robot yang hanya diam menunggu perintah. Setelah aku dipakaikan baju steril oleh mama, Mas Doni segera menggandengku dan berjalan menuju ranjang Fandy. Seketika itu juga air mataku menetes tiada henti saat ku lihat tubuh Fandy yang berlumuran darah. Sungguh mengerikan. Aku ingin sekali memanggil namanya. Tapi, aku takut dia tidak akan menyahut.
“Yul... Fandy tadi tertabrak bus saat akan menjeput kamu. Rupanya, sopir bus itu sedang mengantuk dan tidak melihat mobil Fandy yang sedang melaju saat busnya akan dibelokkan ke kiri.” Aku bisa mendengar suara Mas Doni yang bergetar karena menahan tangis, “Fan...ini Yuli sudah datang. Kamu bisa merasakan kehadirannya, kan?” seraya melihat ke arahku Mas Doni memintaku berbicara kepada Fandy. Setelah mengumpulkan segala keberanian yang aku miliki, secara perlahan aku berjalan menuju ranjang Fandy, “Fan...maafkan aku, ya... Ini semua salahku. Seharusnya aku nggak minta dijemput kamu. Aku egois, ya? Fan...bangun dong. Kamu kan sudah janji mau menemani aku. Besok kan kita ada rencana ke Taman Bermain. Kita kan udah ngerencanain hari itu dari kemarin. Fan... kamu nggak akan ninggalin aku, kan? Kamu kan udah janji.” Aku tidak tau lagi harus berkata apa. Rasanya dunia begitu hampa saat aku mengetahui bahwa Fandy sudah tidak lagi berada di dunia ini dan dia meninggalkanku untuk selama-lamanya. Hanya tangis yang bisa aku keluarkan saat harus mengantarkan kepergiannya.
* * * * *
“Fan... sudah dua tahun sejak kejadian itu. Aku diterima di UGM. Akhirnya impian kita untuk bisa bersekolah di tempat yang sama jadi kenyataan.” Gumamku saat menerima hasil UM UGM. Begitu lega hatiku mengetahui aku diterima di UGM.
“Yul...kamu berhasil menggapai cita-citamu. Fandy pasti juga senang melihatmu yang sekarang ini.” Kata Mas Doni seraya menatap langit seakan-akan berbicara dengan Fandy. Akhirnya aku bisa melepaskan kepergian Fandy. Aku merasa lebih ikhlas saat masuk UGM. Sebab, aku merasa Fandy selalu menemaniku kapan pun dan dimana pun aku berada. Meski aku tau sebenarnya dia akan selalu ada di dekatku, di dalam hatiku dan bersama diriku juga orang-orang yang dia sayangi namun aku merasa lebih nyaman saat segala impian bersama Fandy menjadi kenyataan dan aku berada di satu temapat dengannya meski keberadaannya tak sejelas dulu.
* * * * *